“Kalau di sini, nangkap ikan gak cuma pake jaring dan pancing, tapi juga bom dan potas.” Pak Thamrin memulai diskusi sore itu dengan sebuah kalimat yang tidak saya harapkan akan muncul di awal diskusi. Ternyata ia tidak sesulit yang saya bayangkan. Padahal, ketika pertama kali saya tiba di depan rumahnya yang asri, wajahnya memandang saya dengan tidak bersahabat dan membuat ragu untuk beramah tamah dengannya. Namun, lelaki paruh baya dengan kumis baplang berwarna hitam dan perut gendutnya yang ia biarkan terbuka itu ternyata mempersilahkan saya masuk.
Diselingi dengan hembusan rokok lintingan, yang dibuat dalam waktu beberapa detik saja, ia ternyata orang yang sangat suka bercerita. Tak lama, semua cerita mengenai kehidupan nelayan di pulau itu pun meluncur dari mulutnya. Mulai dari nenek moyang orang-orang di kampung ini yang berasal dari negara tetangga, perompak yang menghancurleburkan kampung ini di tahun 50an, hingga asal muasal dirinya yang kabur dari kampung halamannya di Timur sana.
Bom dan potas sudah menjadi teman dari banyak nelayan di kampungnya. Ia bahkan mengaku pernah menggunakan bahan-bahan berbahaya itu untuk memperoleh hasil ikan yang maksimal.Tak kurang dari 20 kilo ikan bisa ia dapat dengan usaha yang tidak seberapa. Mudah kok jualnya, apalagi di sini para pembeli tidak pernah peduli dengan kualitas ikan. Mau pake jaring, pake pancing, pake bom atau potas, asalkan murah, pasti laku dibeli, begitu kilahnya menjelaskan kenapa selama ini bisa bebas menjual ikan-ikan bom tersebut. Memang, dari penampakan luar. ikan yang didapat menggunakan bom memang tidak berbeda dengan ikan biasa. Tapi coba sentuh bagian dalam, maka akan terlihat bahwa tulang-tulang ikan tersebut dapat dipastikan hancur berantakan.
Jangan tanya soal peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Kapal patroli dan kebijakan sudah dibuat untuk melarang praktek-praktek yang katanya ilegal tersebut. Tapi seringkali para nelayan memang jauh lebih pintar untuk bisa tetap menggunakan bahan-bahan itu. Kebutuhan hidup yang semakin banyak, harga-harga yang merangkak naik, modernitas dalam bentuk kebutuhan barang-barang, kapitalisme di berbagai bidang, termasuk kebutuhan untuk memiliki hape dan televisi seperti tetangganya yang sukses, membuat mereka berjuang untuk bisa memenuhi itu semua. Jangan salahkan pendidikan yang membuat mereka masih bergelut dengan kehidupan nelayan hingga saat ini. Cuma itu yang mereka bisa andalkan, walaupun dengan cara-cara yang terlihat berbahaya dan berbeda dengan nilai-nilai yang ada di luar sana.
Peraturan yang semakin ketat juga berdampak pada konflik antara orang-orang di kampungnya dengan LSM yang mereka tuduh sebagai biang keladi dibuatnya pelarangan itu. Belum lagi pembuatan zonasi larangan mengambil ikan yang menurut mereka tidak masuk akal. Dengan dalih bahwa masyarakat telah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan selama ini jumlah ikan yang ada tidak pernah berkurang drastis, mereka menganggap aturan itu sebagai akal-akalan saja. Alhasil, mereka mencurigai semua orang yang mereka anggap sebagai orang LSM, melarang mereka masuk, termasuk mencurigai semua program apapun yang mereka buat. Itu juga yang membuat dia nampak tidak bersahabat ketika saya tiba di depan rumahnya. Rupanya ia menyangka saya adalah anggota LSM yang ia maksud tadi.
Inilah salah satu perjuangan untuk sebuah tujuan yang bernama konservasi sumber daya alam. Sebuah konsep sebaik apapun, memang seringkali memiliki ‘nilai’ yang berbeda ketika dihadapkan pada kepentingan yang berbeda. Konservasi memang tidak bisa dipisahkan dari bidang-bidang lain, termasuk ekonomi dan sosial. Apalagi jika berhubungan dengan hajat hidup masyarakat yang sudah ratusan tahun bergantung pada sumber daya alam itu.
Jangan pula sebutkan sustainability, konservasi, development goals, atau kata-kata bombastis lainnya pada mereka. Bahkan, menuliskan kata TIDAK BOLEH kepada mereka pun tidak akan berpengaruh nyata jika tidak dengan memberikan alternatif yang senilai dengan apa yang mereka lepaskan. Nilai untuk hal yang mereka lepaskan itu seringkali tidak hanya bisa diukur dengan perhitungan ekonomi namun juga harus mempertimbangkan nilai sosial dan budaya yang ada. Ketika semua itu tidak bisa dipertemukan, maka konflik berkepanjangan yang justru akan mencuat.
Di akhir pembicaraan, ia mengakui bahwa kelumpuhan yang dialami oleh tetangganya akibat terlalu sering menyelam (tanpa alat pula!) untuk menyemprotkan potas di antara terumbu karang membuatnya berpikir ratusan kali untuk menggunakan bahan itu. “Si Japra itu kalau menyelam, nyemprot potas, dan dapet ikan banyak, pasti langsung minum-minum tuak malamnya. Akhirnya, lama-lama kaki dan tangannya lumpuh, mas. Takut saya kalau jadi kaya gitu juga.” Ia mengatakan itu sambil berbisik, seakan tak mau seorangpun yang mendengar. Ditambah dengan kehilangan jari di tangan kiri anak lelakinya akibat bom ikan yang meledak terlalu cepat, membuat ia berhenti untuk menggunakan cara-cara itu. Saat ini ia memang tidak ngoyo lagi mencari ikan. Ia lebih memilih untuk berkonsentrasi membuat pesanan perahu bagi teman-temannya, yang hingga saat ini masih tetap bertahan menggunakan bahan-bahan tersebut. Entah sampai kapan.
di mana kejadiannya ?
sebenarnya tugas siapa sih membuat mereka mengerti itu ?
semua gar, termasuk pemerintah juga *klise?*
NNNNNaaaahhhhh…!!! :p
Fotonya bagus…
mengerikan…. nelayan kayak gitu mah, bagusnya ditangkep… karungin… gebukin rame2!!! huhuhu…..
disana ada pungli gak, a? kasus yang dialamin di salah satu site kita soalnya nelayan-nelayan itu ditekan sama pungli. makanya, mau gak mau, mereka jadi nyari uang instan *pake’ potas, bom, gitu-gitu deh*
“Nilai untuk hal yang mereka lepaskan itu seringkali tidak hanya bisa diukur dengan perhitungan ekonomi namun juga harus mempertimbangkan nilai sosial dan budaya yang ada.”
kayaknya, kalimat di atas itu adalah salah satu tugas paling berat untuk kita bisa shift pola pikir masyarakat untuk melakukan hal yang lebih ‘ramah’ lingkungan.
Faktor pendidikan dan kemiskinan berperan banyak dalam hal ini, mereka sadar sebenernya itu tindakan bodoh, tp demi perut menghalalkan segala cara
aaqq kok ga update lagi sih…kita bosan sama bapak tua yang nangkap ikan ga pake pancing ini..hehehe..
Indeed tugas kita semua, mestinya kemaren juragan ikut ngasih penyuluhan (lingkungan) atuh LD