malam datang lebih cepat di musim dingin ini. jam 4.30 sore dan langit pun berubah warna. itu membuat energi bekerja secara psikologis menurun. rasa lapar menyergap lebih cepat, padahal 4 jam lalu baru saja menyelesaikan makan siang. lampu-lampu mulai dinyalakan, orang-orang mulai hilir mudik di bawah jendela, menyeret tas-tas bekerja mereka sambil tak lupa mengenakan sarung tangannya. saya tak sendiri rupanya. banyak yang merasa ingin cepat pulang akibat perubahan waktu ini.
baru dua minggu saya kembali ke kota ini. kota yang senantiasa mendapat tempat khusus di sudut hati. tidak hanya karena ambience-nya yang memang menyenangkan, namun juga kondisi fisiknya yang sangat mempesona. google saja image kota utrecht dan kalian pasti akan menyetujui pernyataan saya tadi. walaupun, harus saya akui ada keangkuhan dan rasa dingin di sana. tidak banyak yang berubah dari kota ini setelah dua bulan setengah saya tinggalkan. lalu lalang orang yang saling tidak peduli di stasiun central, ocehan bahasa yang (masih) belum bisa saya tangkap dengan lancar, pembangunan di kanan-kiri jalan yang terus berlangsung ditambah dengan musim dingin yang menggigit hingga ke tulang, menghiasi kota ini.
saya merasa sendiri. ada sedikit keterkejutan yang dirasakan setelah kembali dari indonesia yang sangat ‘hangat’, baik orang-orangnya maupun cuacanya. tapi di satu sisi, ini sebuah rasa yang sangat saya nikmati. sendiri di tengah keramaian, di antara orang-orang yang tidak peduli siapa dirimu. juga tanpa harus berpikir apa yang orang pikirkan tentangmu, walaupun memakai baju anti dingin yang membuat dirimu lebih mirip lontong menggembung di sana sini. semua orang merapatkan diri pada jaket tebal dan syalnya. mencari kehangatan dengan mengembara pada pikirannya sendiri. saya mulai menemukan rasa itu. saya menemukan sensasi kesendirian itu. musim dingin lah yang menambah sensasi itu.
hari sinterklas tiba tak lama setelah saya datang ke belanda. saya tidak merayakan itu, walaupun kemeriahannya sampai ke meja saya. pagi itu, sekotak cokelat besar ada di meja kerja saya. sinterklas rupanya datang tadi malam. saya membayangkan betapa tradisi itu begitu membuat anak-anak di belanda ini menjadi sangat menanti-nantikan sinterklas dan piet hitamnya. bagaimana tidak, saya yang mendapat cokelat saja begitu senangnya, apalagi mereka. mereka bahkan tak jarang menitipkan pesan melalui orang tuanya, jenis-jenis kado yang ingin mereka dapatkan setiap tahunnya.
di rumah, pesta masih berlanjut. si housemate yang baik hati itu membuat makan malam spesial. bersama teman lain kami melewatkan malam ini dengan bercerita sekaligus tertawa. dua bulan adalah waktu yang lama untuk membombardir kami semua dengan cerita. sebuah kehangatan yang berbeda. sebuah sensasi lain saya dapatkan. sekarang sensasi kehangatan dalam pertemanan.
belum cukup, tiba-tiba mereka mengeluarkan beberapa kado, termasuk buat saya. kaget juga karena saya tidak pernah mempersiapkan hal itu. mereka pun bertukar kado sambil membacakan sebuah puisi kepada orang yang diberikannya. selain kado, puisi pun ternyata menjadi sebuah tradisi di hari sinterklas di belanda ini. tak hanya di antara keluarga, namun juga di antara sahabat dan teman dekat.
saya pun dihadiahi puisi berbahasa belanda yang mereka buat sendiri. berisi tentang impresi mereka selama mengenal saya. puisi berima ini terdengar sangat manis sekali. walaupun banyak juga kelakar-kelakar mengenai keseharian saya, seperti kesukaan gila-gilaan terhadap cabe hingga facebook, and i was overwhelmed with those. thank you so much, guys. saya pun merasa bersalah karena tidak mempersiapkan apa-apa. di balik semua kedinginan dan kesendirian yang ditawarkan kota ini, kehangatan-kehangatan seperti itu pun mulai bermunculan.
tiba-tiba pertanyaan mengenai prototipe terhadap dunia barat yang individualis pun terangkat. apa sih definisi sebenarnya dari kata itu? tidak peduli pada hidup orang lain? mengerjakan segala sesuatunya sendiri? tidak punya yang namanya gotong royong? hidup asosial? kalau cuma hal itu, kok saya sepertinya sudah mulai menemukannya di negara sendiri.
siapa bilang orang-orang di sini seperti itu? tidak semua kok. semua manusia itu sama. orang jahat ada di mana-mana, orang baik lebih banyak lagi, apalagi kalo cuma orang egois dan mau mengurusi dirinya sendiri. dan kita, sebagai manusia, memang suka memberi label pada orang lain dan hanya melihat segala sesuatu berdasarkan generalisasi secara sepihak ataupun pada warna kulit dan batas geografis.
lebih heran lagi, kita pun bangga dengan hal-hal yang sebenarnya belum pasti mewakili diri kita sendiri. padahal jika kita yang punya prototipe itu berkaca, masih pantaskah menaruh diri kita di sana? semoga masih. atau justru kita memang merasa lebih nyaman berlindung di sana, walaupun sudah tidak pantas menjadi bagian dari prototipe itu?
ah mbul.. nice insights 🙂
speaking as an “ansos yang sumeh”, like you said, kehangatan yang sering digembar-gemborkan itu kan sebenernya cuma ada di permukaan. semua harus sama, semua harus sependapat, sehingga “kelihatannya” ga ada konflik. dan anda benar, egois atau ramah, it’s just a label. at the end of the day, we just have to agree to disagree. menghargai pendapat orang dan berusaha melihat the best aspect in every soul, itu kehangatan yang sebenernya kali yaa…
btw, kok aku selalu pertamax di sini sih, kayak penggemar berat aja, hihihihihii…
Mantap Ki..
i miss Utrecht very much.
Enjoy.